Johanes mengatakan, tindakan membebaskan Amaq Sinta setelah mempertimbangkan masukan dari Kejaksaan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan ahli pidana dalam mengambil keputusan terkait kasus tersebut merupakan bagian dari upaya restorative justice.
Ombudsman pun berharap penanganan kasus serupa juga dapat melibatkan partisipasi masyarakat dan pelibatan stakeholder terkait.
Pelibatan itu, ujar Johanes, diperlukan untuk pengambilan keputusan tindak lanjut penanganan perkara pidana yang di dalamnya terdapat dimensi sosial dan menjadi atensi publik ataupun berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat.
“Pihak Kepolisian perlu mengedepankan upaya Restoratif Justice,” kata Johanes.
Sebagai informasi, banyak pihak keberatan dengan status tersangka yang disandang Amaq Sinta karena ia sejatinya adalah korban yang mencoba untuk melindungi diri.
Kemudian, muncul desakan agar polisi melakukan gelar perkara kasus tersebut agar tercipta keadilan bagi korban pembegalan tersebut.
Kepolisian Daerah (Polda) NTB pun mengambil alih penanganan kasus itu dari Polres Lombok Tengah pada Kamis (14/4/2022).
Baca Juga: Kasus Korban Begal Jadi Tersangka, Kabareskrim Polri: Harusnya Dilindungi
"Jadi laporan polisi berkaitan dengan atau nomor polisi LP 137, untuk saat sekarang dilakukan penghentian penyidikan," ungkap Kapolda NTB Irjen Pol Djoko Poerwanto dalam jumpa pers di Mapolda NTB, Sabtu (16/4/2022).
"Administrasi penyidikan berkaitan dengan penghentian penyidikan akan dilakukan segera oleh penyidik," kata dia.
Djoko menyampaikan, penghentian penyidikan tersebut ditetapkan berdasarkan hasil gelar perkara khusus yang menyimpulkan bahwa tidak terpenuhi unsur pidana atas tindakan yang dilakukan oleh Amaq Sinta.
Dalam hal ini, Amaq Sinta melakukan pembelaan diri terhadap begal yang berusaha merampas motornya.
"Fakta yang disampaikan dalam gelar perkara khusus tadi adalah yang dilakukan oleh saudara M (Murtede alias Amaq Sinta) adalah perbuatan pembelaan terpaksa, sehingga pada saat ini tidak diketemukannya unsur perbuatan melawan hukum baik secara formil dan materil," kata Djoko.
Hukum formil yang dimaksud Djoko sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Ayat 1 KUHP, yang menyebutkan seseorang tidak dapat dihukum karena melakukan perbuatan pembelaan darurat untuk membela diri atau orang lain atau hartanya dari serangan atau ancaman yang melawan hukum.
Sementara hukum materil adalah perbuatan yang dilakukan oleh Amaq Sinta atas kematian dua begal yang menyerangnya.
Selain itu, Djoko menyampaikan, pihaknya menyimpulkan kasus tersebut dihentikan mengacu pada Pasal 30 Peraturan Kapolri nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ombudsman Apresiasi Penghentian Kasus Korban Begal Jadi Tersangka"
Penulis | : | Ahmad Ridho |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR