MOTOR Plus-online.com - Kamis (9/1/2020), Fatur Nizar Rakadio (16) meninggal setelah menjadi korban klitih di daerah Selopamioro, Imogiri, Bantul pada Desember 2019 lalu.
Nyawa warga Trimulyo, Kecamatan Jetis, Bantul tak bisa diselamatkan setelah sempat menjalani perawatan medis.
Selain Fatur, korban klitih lainnya adalah Afrizal (16) warga Dusun Kedon, Desa Pasuruhan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang.
Nyawa Afrizal berhasil diselamatkan setelah dianiaya oleh Bintang Surya (24) dan Adhe M Aji (24) pada Rabu (26/6/2019) malam.
Baca Juga: Tukang Ojek Jadi Korban, Camat Ngadirojo Bagikan Tips Klasik ke Warga Cegah Begal Motor
Afrizal dibacok menggunakan senjata tajam sebanyak empat kali yang mengenai punggung dan lengannya saat akan membeli pulsa di Jalan Soekarno - Hatta, Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan.
Kapolres Magelang AKBP Yudianto Adhi Nugroho mengatakan kasus tersebut tak ada kaitannya dengan kejadian serupa yang sedang marak di kawasan Yogyakarta.
Ia menyebut, pelaku Bintang sengaja membacok untuk menguasai ponsel milik Afrizal.
Sementara itu pada 7 Desember 2018, IR yang sedang mengendarai mobil pikap bersama istrinya hampir diserang oleh dua remaja "klitih" saat melintas di wilayah Mlati, Sleman.
IR kemudian berinisiatif mengejar dua remaja tersebut.
Dan saat melintas di Jalan Kebun Agung, Seyegan, Sleman, mobil yang dikemudian IR menabrak motor yang dikendarai dua remaja tersebut hingga tewas.
Dari hasil pemeriksaan, dua remaja tersebut berinsial R dan A. Akibat kejadian tersebut, IR ditetapkan sebagai tersangka setelah menerima laporan dari orangtua remaja yang meninggal.
Arti klitih
Dilansir dari pemberitaan Kompas.com pada 14 Januari 2020 kata klitih adalah bentuk kata ulang yaitu klitah-klitih yang bermakna jalan bolak-balik agak kebingungan.
Baca Juga: 14 Begal Sadis Mendadak Loyo Diringkus Polisi, Modus yang Dilakukan Gerombolan Ini Terbilang Nekat
Hal tersebut berdasarkan Kamus Bahasa Jawa SA Mangunsuwito yang dijelaskan di Harian Kompas pada 18 Desember 2016.
Pranowo pakar bahasa Jawa sekaligus Guru Besar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta menjelaskan bahwa klithah-klithih masuk kategori dwilingga salin suara atau kata ulang berubah bunyi seperti pontang-panting dan mondar-mandir.
Namun ia mengartikan klithah sebagai keluyuran yang tak jelas arah.
”Dulu, kata klithah-klithih sama sekali tidak ada unsur negatif, tapi sekarang dipakai untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas.
Katanya pun hanya dipakai sebagian, menjadi klithih atau nglithih yang maknanya cenderung negatif,” kata Pranowo.
Muncul tahun 1990-an
Istilah klitih marak di pemberitaan media sekitar tahun 2016. Saat itu tercatat ada 43 kasus kekerasan yang melibatkan remaja.
Per bulan rata-rata polisi menangani 3 kasus klitih.
Namun kriminal yang melibatkan remaja pernah muncul pada tahun 1990-an.
Di arsip Harian Kompas pada berita 7 Juli 1993, Kapolwil DIY yang saat itu dijabat oleh Kolonel (Pol) Drs Anwari menyebutkan bahwa polisi telah memetakan keberadaan geng remaja dan kelompok anak muda yang sering melakukan aksi kejahatan di Yogyakarta.
Lalu pada tahun 2000-an, Herry Zudianto yang menjabat sebagai Wali Kota Yogyakarta gerah dengan maraknya tawuran antarpelajar.
Ia pun menginstruksikan jika ada pelajar Yogyakarta terlibat tawuran, maka akan dikeluarkan dari sekolah dan dikembalikan ke orangtuanya.
Sosiolog Kriminal UGM Soeprapto mengatakan bahwa instruksi Herry terbukti ampuh meredam aksi tawuran karena beberapa geng pelajar kesulitan mencari musuh.
Geng tersebut kemudian mencari musuh secara acak.
Jika awalnya kekerasan terjadi karena balas dendam, saat ini motifnya menjadi lebih beragam.
Mereka juga menunjukkan eksistensi dengan campur tangan alumni atau pihak lain yang memiliki kepentingan.
Dengan melibatkan remaja atau anak-anak maka hukuman kejahatan yang dilakukan akan lebih ringan.
"Pihak tertentu itu ikut nimbrung supaya tujuannya tercapai, istilahnya bisa nabok nyilih tangan.
Sebab kalau kejahatan dilakukan remaja atau anak-anak hukumanya ringan," kata Soeprapto, saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/1/2020).
Soeprapto mengatakan kasus klitih banyak terjadi malam hari sehingga orangtua harus lebih ketat melakukan pengawasan pada anaknya.
Selain itu, Soeprapto juga menyebut pihak keluarga, sekolah, lembaga pendidikan, agama, dan kepolisian bisa duduk bersama untuk mencaro solusi.
"Fungsi perlindungan keluarga juga penting. Kalau dulu anak dianiaya sambatnya ke orang tua, tapi sekarang pada kelompoknya. Itu menandakan fungsi keluarga melemah," kata dia.
Sementara itu pemberitaan Harian Kompas pada 17 Maret 2017, Kapolda DIY saat itu, Brigjen Pol Ahmad Dofiri menyebut setidaknya ada 81 geng sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jumlah itu terdiri dari 35 geng sekolah di Kota Yogyakarta, 27 geng sekolah di Kabupaten Sleman, 15 geng sekolah di Kabupaten Bantul, serta masing-masing 2 geng sekolah di Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul.
Baca Juga: Seperti Dielus-elus, Penumpang Cantik Tidur di Pundak Driver Ojol, Bawa Motornya Nyaman Banget
”Mereka (para remaja yang melakukan kekerasan) ini hidup dalam ikatan kelompok berupa geng baik di sekolah maupun di luar sekolah,” kata Dofiri.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Klitih, Kriminalitas Jalanan yang Libatkan Remaja di Yogyakarta",