Gridmotor.id - Sering kali terjadi keributan bila debt collector mendatangi pemilik yang motornya bermasalah dalam pembayaran kredit.
Biasanya keributan terjadi lantaran debt collector sering rampas motor sembarangan.
Debt collector memang sering mengawasi di jalan raya.
Dan ketika target incarannya muncul, maka debt collector tersebut langsung menunjukkan aksinya.
Seperti menarik paksa motor dari pemilik ketika sedang di jalan.
Bahkan sampai membawa kabur motor dari sang pemilik.
Akibatnya, sudah beberapa kali kasus perampasan motor kredit berujung bentrokan di jalan.
Seperti peristiwa baru-baru ini yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat.
Baca Juga: Habis Ngamuk sama Debt Collector, Nikita Mirzani Kini Tangkap Supir Yang Pajang Fotonya Di Truk
Kali ini kasus perampasan motor kredit berujung bentrokan yang melibatkan debt collector dengan ormas.
Insiden bentrokan yang melibatkan debt collector tersebut berlangsung di Jalan Raya Cubolang, Desa Cibolang kaler, Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Keributan antara debt collector dan ormas berlangsung pada Kamis (16/9/2021) sekitar pukul 15.30 WIB.
Akibat dari peristiwa tersebut, Pihak Kepolisian setempat sampai harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sebenarnya di masa pandemi Covid-19 dan pemberlakuan PPKM, debt collector dilarang menarik paksa kendaraan di jalan.
Debt collector yang masih nekar menarik kendaraan saat pandemi bisa di pejara 12 tahun.
Sektor kredit perbankan terdampak pandemi tapi gerak debt collector dibatasi, angsuran kredit kendaraan banyak yang macet karena masyarakat kena PHK sampai gajinya dipotong.
Dikutip dari Tribunnews.com, beberapa perusahaan leasing maupun debt collector masih ada beberapa yang menarik paksa kendaraan bermotor.
Lalu bagaimana dasar hukum atas peristiwa tersebut?
Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Solo di Bidang Pendidikan, Kusuma Retnowani Amd SH MH turut memberikan pandangan.
Menurut Retno, tindakan debt collector maupun perusahaan leasing yang menarik paksa kendaraan tidak dibenarkan.
Pasalnya ada aturan yang mengatur bagaimana kredit seharusnya dapat membuat nyaman bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata, ada perjanjian atau kontrak yang berlaku bila melakukan kredit.
"Sebenarnya untuk kredit itu diawali oleh itikad baik dari semua pihak, dari kreditur atau debitur."
"Dari itikad baik itu apabila terdapat masalah dikemudian hari, misalnya ada wanprestasi dari pihak debitor."
"Lalu kreditur melakukan pemaksaan untuk mendapat angsurannya tepat waktu, itu harus ditinjau ulang perjanjiannya seperti apa," ujar Retno dalam program Kacamata Hukum Kredit Macet, Bolehkah Kendaraan Ditarik Paksa? bersama Tribunnews, Senin (31/8/2020).
Baca Juga: Sangar Hadapi Debt Collector, Nikita Mirzani Justru Ciut Saat Kafenya Dipaksa Tutup Satgas Covid-19
Retno menuturkan, bila terjadi kendala dan menggunakan jasa debt collector, maka masyarakat harus memahami aturannya.
Sebab, penggunaan dept collector sendiri sudah diatur sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
Pengacara asal Solo ini menjelaskan, aturan tersebut mengatur debt collector tidak bisa memutuskan secara sepihak untuk menarik kendaraan.
"Secara fisik kendaraan itu dipegang masyarakat, apabila terjadi kemacetan itu masuk kategori wanprestasi."
"Sesuai peraturan, perusahaan leasing harus melimpahkan persoalan ini ke persoalan perdata."
"Setiap menyita harus melalui putusan pengadilan, tidak bisa diputuskan secara sepihak," papar Retno.
Oleh karena itu, sebelum melakukan kredit, Retno menyarankan agar masyarakat membaca klausul kredit secara detail dan cermat.
Apabila kurang jelas, masyarakat berhak menanyakan pasal yang ada dalam akad kredit.
Baca Juga: Buat Bikers! Bilang Gini Jika Tidak Ingin Berurusan Lama Sama Debt Collector
Upaya tersebut perlu dilakukan agar apa yang diterangkan oleh kreditur menjadi tanggung jawab bersama.
Retno menilai, eksekusi Jaminan Fidusia harus berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 tahun 2011.
Sebab aturan tersebut mengatur untuk menjaga ketertiban di masyarakat, seperti memberi aman bagi kreditor maupun pelaku usaha.
"Apabila terjadi pihak leasing melakukan perampasan terhadap fisik barang yang diterima masyarakat dalam angsuran kredit hanya karena kemacetan angsuran tanpa putusan pengadilan."
"Maka pelaku atau debt collector bisa dikenakan hukum pidana berdasarkan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (4) KUHP," terang Retno.
Ancaman hukumannya, lanjut Retno, bila dilakukan sendiri bisa terancam 5 tahun penjara dan 7 tahun penjara bila dilakukan dua orang.
Sedangkan bila dilakukan berkelompok dan secara pengeroyokan maka terancam 9 tahun penjara.
"Apabila dilakukan malam hari, kemudian merampas di rumah debitor tersebut dengan cara kekerasan maka bisa dikenakan 12 tahun penjara," tambah Retno.
"Indonesia ini negara hukum, tidak sembarang masyarakat bisa melakukan perbuatan hukum semaunya sendiri, semua ada sanksi hukumnya," pungkasnya.