“Bagaimana mau membatasi kalau aplikator itu sendiri boleh kita katakan pelit atau tidak memberikand data-data itu,” ujarnya.
Padalah, Deddy beranggapan dengan keterbukaan data, maka semua pihak dan pemerintah dapat mengukur wilayah mana saja yang membutuhkan jasa ojol tertinggi dan terendah.
Sehingga, kebutuhan akan fasilitas layanan transportasi online ini bisa disesuaikan dengan permintaan pasar.
“Kalau demand kita bisa ukur dengan turun di stasiun, di halte. Tapai kalau yang untuk suplai itu suplai ojolnya itu kita tidak bisa ukur,” ucap Deddy.
“Ada yang ngomong di Jakarta 100 juta ada yang ngomong 800 (ribu) ada yang ngomong 2 juta,” lanjutnya.
Praktisi transportasi ini menilai dengan keterbukaan data juga bisa membantu pemerintah menerbitkan regulasi yang sesuai baik bagi pengguna maupun penyedia jasa angkutan online.
Pasalnya, perihal regulasi ojol, kata Deddy, saat ini masih terjadi simpang siur apakah di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) atau di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Baca Juga: Sempat Viral Ojol di Stasiun Diwajibkan Bayar Karcis, Ini Penjelasan Pihak Stasiun
“Karena provider ojol itu kan bukan perusahan transport. Tidak ada regulasi di dalam hukumnya mereka itu dengan Kemenhub,” kata Deddy.
“Justru ada hukum regulasi langsung itu dari Kementerian Komunikasi dan Informatika karena itu yang memberikan izin itu mereka,” tuturnya menambahkan.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kenaikan Tarif Tidak Bikin Driver Ojol Untung, Pengamat: Percuma Kalau Tidak Dibatasi Kuota
Source | : | Tribunnews.com |
Penulis | : | Albi Arangga |
Editor | : | Aong |
KOMENTAR