Dedi menjelaskan, pada periode 2009-2012 PT PPN melakukan perjanjian jual BBM secara nontunai dengan PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) yang ditandatangani Direktur Pemasaran PT PPN dan Direktur PT AKT.
Pelaksanaan kontrak pada satu tahun pertama 1.500 kiloliter (kl) per bulan.
Kemudian, tahun 2010-2011 PT PPN menambah volume pengiriman menjadi 6.000 kl per bulan (Addendum I).
Lalu, pada tahun 2011-2012 PT PPN menaikkan volume menjadi 7.500 kl per pemesanan (Addendum II).
Dedi mengungkapkan, Direktur Pemasaran PT PPN melanggar batas kewenangan atau otorisasi untuk penandatanganan kontrak jual beli BBM yang nilainya di atas Rp 50 miliar.
Hal itu berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama PT Patra Niaga Nomor: 056/PN000.201/KPTS/2008 Tanggal 11 Agustus 2008 tentang Pelimpahan Wewenang, Tanggung Jawab dan Otorisasi.
Kemudian, PT AKT tidak membayar sejak 14 Januari 2011 hingga 31 Juli 2012 sebesar Rp 19,7 miliar dan 4,73 juta dolar AS atau senilai Rp 451,66 miliar.
Baca Juga: Nantinya Harga Pertalite Selisih Sedikit dengan Pertamax, Ini Kelebihan Pertamax
"Direksi PT PPN tidak melakukan pemutusan kontrak terhadap penjualan BBM nontunai ke PT AKT. Sementara Direksi PT PPN tidak ada upaya melakukan penagihan," sebut Dedi.
Dari hasil penyelidikan, terdapat dugaan penerimaan uang oleh pejabat PT PPN yang terlibat dalam proses perjanjian penjualan BBM nontunai antara PT PPN dengan PT AKT pada periode saat terjadinya proses penjualan BBM tersebut.
Saat ini, Polri sedang menyiapkan sejumlah langkah untuk mengusut kasus ini lebih dalam.
Di antaranya membuat rencana penyidikan hingga melakukan profiling pihak yang terlibat.
"Penyidik melakukan langkah-langkah selanjutnya dengan membuat rencana penyidikan, melakukan koordinasi dengan pihak terkait, dan melakukan 'profiling' pihak-pihak yang diduga terlibat guna 'asset recovery'," tandas Dedi.
Artikel ini sebagian tayang di Kompas.tv dengan judul PT Pertamina Patra Niaga Diduga Korupsi BBM, Rugikan Negara Rp 400 M Lebih
Source | : | Kompas.tv |
Penulis | : | Albi Arangga |
Editor | : | Ahmad Ridho |
KOMENTAR