Pertamina berusaha membuat perencanaan yang akurat dengan menyeimbangkan aspek ketahanan energi nasional dan kondisi korporasi.
Nicke menjelaskan, pihaknya tak hanya menjaga pasokan secara nasional, tapi juga per wilayah hingga SPBU, karena stok yang diperlukan berbeda untuk jenis produknya.
"Kita tidak menyamaratakan jumlah untuk seluruh daerah, tetapi disesuaikan, karena ada daerah yang solarnya tinggi, ada yang Pertalite-nya tinggi, ada juga Pertamax-nya. Ini kita coba lihat satu per satu dengan digitalisasi SPBU," ujarnya.
Adanya peningkatan mobilitas masyarakat yang tinggi pasca-pandemi juga ikut mengerek tren penjualan bahan bakar.
Bila terus berlanjut, diperkirakan Solar dan Pertalite bakal melebihi kuota yang telah ditetapkan pemerintah.
Nicke menjelaskan, pihaknya berusahan menjaga kuota agar tidak over.
Karena itu diupayakan langkah agar penyerapannya tepat sasaran mengingat dari data Kementerian Keuangan, 40 persen penduduk miskin dan renta hanya mengonsumsi 20 persen BBM, sementara 60 persen teratas mengonsumsi 80 persen BBM subsidi.
Artikel ini telah ditulis di Kompas.com dengan judul "Tanpa Subsidi, Harga Pertalite Tembus Rp 17.200 dan Solar Rp 18.150"